
Di masa lalu, pernikahan sering dianggap sebagai salah satu tonggak utama dalam perjalanan hidup seseorang, sebuah pencapaian yang tak terelakkan dan dihargai sebagai simbol kestabilan dan kematangan. Namun seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial dan perkembangan dinamika kehidupan modern, pandangan tersebut kini mengalami pergeseran. Pernikahan tidak lagi dianggap sesuatu yang harus dilalui, melainkan sebuah pilihan yang lebih kompleks. Hal ini tidak lepas dari munculnya generasi Z, atau biasa disebut Gen Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012.
Beberapa studi dan observasi menunjukkan bahwa banyak dari gen Z memilih untuk tidak buru-buru menikah, atau bahkan tidak menikah sama sekali. Apakah ini hanya sebuah mitos, ataukah ini adalah realitas yang mencerminkan perubahan sosial yang lebih kompleks? Lalu apa yang mendasari rendahnya minat menikah pada Gen Z?
Perbedaan Pandangan Tentang Komitmen dan Pernikahan.
Gen Z memiliki pandangan yang fleksibel tentang konsep komitmen. Meskipun tetap menjalani hubungan, mereka biasanya tidak ingin terikat oleh norma sosial yang mengharuskan pernikahan. Hal ini tentu berbeda dengan generasi sebelumnya , yang sering menjadikan pernikahan sebagai salah satu pencapaian dalam hidup. Generasi sebelumnya lebih sering merasakan tekanan untuk menikah pada usia tertentu, sedangkan Gen Z lebih menghargai kebebasan pribadi dan pengembangan diri. Mereka lebih memilih untuk mengejar karir dan pendidikan. Ini mencerminkan pergeseran besar dalam prioritas hidup.
Faktor Ekonomi
Biaya hidup yang tinggi, harga rumah yang terus meningkat, ketidakpastian ekonomi global, membuat Gen Z merasa kesulitan untuk membangun kestabilan finansial sebelum memasuki komitmen pernikahan. Memilih untuk menikah dan membangun keluarga berarti menambah beban finansial.
Tingginya Tingkat Perceraian
Sejak 3 tahun terakhir, angka perceraian di Indonesia mencapai 400 ribu. Trauma akan banyaknya kasus perceraian memicu Gen Z untuk berpikir bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sia-sia untuk dilakukan. Anak-anak yang tumbuh dengan melihat perceraian orang tuanya mungkin mengembangkan rasa skeptis atau takut terhadap stabilitas hubungan jangka panjang.
Pengaruh Media Sosial dan Ekspektasi yang Tidak Realistis
Media sosial memainkan peran yang besar dalam membentuk ekspektasi Gen Z tentang pernikahan dan hubungan. Banyak dari mereka terpapar gambaran yang seringkali tidak realistis. Banyak konten di media sosial yang menunjukkan pasangan yang tampak sempurna, selalu romantis dan mempunyai kehidupan tanpa konflik. Hal ini menciptakan ilusi bahwa hubungan harus selalu indah. Ketika realita tidak sesuai dengan ekspektasi ini, banyak Gen Z yang merasa kecewa dan takut berkomitmen. Di sisi lain, media sosial juga dipenuhi dengan kisah perceraian, perselingkuhan dan hubungan toxic. Hal ini membuat Gen Z takut menghadapi kemungkinan kegagalan yang sama.
Kurangnya minat menikah di kalangan Gen Z bukan sekedar mitos, melainkan fenomena yang bisa dijelaskan melalui berbagai faktor sosial, ekonomi dan psikologis. Keputusan untuk menikah tidak lagi didasarkan pada norma sosial semata, tapi juga kesiapan finansial, kesejahteraan mental dan kualitas hubungan yang sehat dan setara. Fenomena ini menunjukkan sebuah realitas yang mencerminkan perubahan struktural dalam masyarakat. Namun bukan berarti pernikahan tidak lagi penting. Justru, konsep pernikahan mengalami transformasi, di mana kualitas hubungan dan kesiapan individu menjadi faktor yang lebih utama, dibanding sekedar mengikuti ekspektasi sosial.
Comments (0)
There are no comments yet