Seni Rupa sebagai Mesin Sensasi yang Melampaui Interpretasi

Irfan Palippui (Direktur Makassar Biennale)
Mengapa kita selalu "gagal" menangkap sesuatu dari seni rupa? Bagaimana seharusnya kita melihatnya?
Persoalan ini muncul karena kita terus-menerus menaruh harapan representasi, totalitas, dan subjektivitas pada setiap karya seni. Kita selalu menunggu jawaban: apa kriteria, klasifikasi, pondasi, dan makna yang diwakilkan? Di sinilah letak awal mula kegagalan—bukan hanya kegagalan kita sebagai penikmat, tetapi kegagalan seni itu sendiri dalam menciptakan kebaruan dan bentuk-bentuk pengalaman baru.
Lantas, bagaimana jalan keluarnya? Mari kita pinjam kacamata Deleuze & Guattari untuk mendudukkan persoalan ini.
Apa yang dibantah oleh pasangan filsuf ini?
Untuk memahami tawaran mereka, kita ulas dulu pandangan teoretis yang menjadi sasaran kritiknya. Keduanya menentang keras pikiran strukturalisme dan fenomenologi, utamanya obsesi terhadap subjektivitas, totalitas, dan representasi yang telah disebutkan sebelumnya.
Strukturalisme Saussure menjadi sasaran pertama: Deleuze mengkritik cara pandang ini karena menentukan pemaknaan secara struktural melalui sistem bahasa dan oposisi biner, yang justru menolak pengetahuan dari pengalaman langsung.
Fenomenologi pun tak luput dari kritik. Meskipun berbasis pengalaman, pendekatan ini dianggap masih terlalu normatif. Pengalaman tetap dipenjara dalam model transendensi dimana fenomena (kehidupan apa adanya) harus menampakkan diri melalui pemeriksaan dan kesadaran yang sudah terdefinisi. Alih-alih membebaskan, ini malah mengidealisasi pengalaman itu sendiri. Deleuze hendak membebaskan seni dari model subjek-objek tradisional ini.
Mengapa seni rupa mengalami kemacetan dalam memproduksi kebaruan? Jawaban Deleuze: seni terjebak dalam "permainan murni" yang hanya melahirkan pemaknaan sebagai alat menatap, tanpa pernah mampu menghasilkan "permainan baru". Seni seolah berjalan di tempat, terpaku pada logika interpretasi yang sama.
Padahal sejatinya, seni sebagai konsep (seperti filsafat) senantiasa mengalir melalui waktu dalam "proses" untuk "menjadi". Inilah dinamika yang seharusnya terus menghasilkan permainan-permainan baru. Bagaimana jalan keluarnya? Deleuze menawarkan kerangka pikir yang disebutnya "diagram"—sebuah proses penciptaan yang bekerja melalui tiga momen saling terkait.
Dimulai dari klise atau pra-gambar yang sudah mengendap di kepala setiap kreator. Kemudian datang intervensi diagram yang memecah, bahkan menghapus klise tersebut sebagai jalan menuju "menjadi".
Akhirnya muncul "menjadi" itu sendiri: kemunculan sesuatu yang benar-benar baru. Lahirnya sensasi murni. Prosesnya mirip menulis ulang puisi yang telah dihapus, dibersihkan dari segala klise, hingga yang tersisa hanyalah kekuatan (force) yang tak terduga.
Seni, bagi Deleuze, bukanlah objek statis yang sekadar mereplikasi dunia. Seni adalah "mesin". Sebuah entitas aktif yang menciptakan realitas baru. Realitas ini tidak dicerminkan, melainkan diproduksi melalui "blok sensasi" yang bersifat otonom, memiliki logika internalnya sendiri, terpisah sepenuhnya dari niat pribadi seniman.
Bagaimana produksi ini terjadi?
Dimulai ketika seniman sengaja melakukan deformasi—merusak bentuk-bentuk klise yang sudah mapan—hingga melahirkan "diagram". Diagram inilah yang kemudian bekerja sebagai peta dinamis, mengorganisir kekuatan-kekuatan tak terlihat (force) dan memproyeksikannya menjadi pengalaman yang benar-benar otentik bagi penonton.
Dari mana "force" ini berasal? Bukan dari emosi subjektif seniman, melainkan dari afek. Ia adalah energi non-manusia yang mendorong "menjadi-lain" (becoming). Afek lahir dari assemblage: sekumpulan elemen heterogen—ide, material, garis, warna—yang terhubung secara interaksional. Ketegangan dan dinamika dari perakitan sementara inilah yang melepaskan afek, mengubahnya menjadi kekuatan tak terduga dalam karya seni.
Baca juga:
Presiden Jokowi Tingkatkan Kerja Sama dengan Kamboja Saat Bertemu PM Hun Manet
Di sini, afek bekerja lebih dalam dari sekadar perasaan. Ia langsung menyentuh sistem saraf (bukan lagi melalui otak) penonton, menciptakan sensasi fisik yang unik dan mendalam. Di sinilah Deleuze mengembalikan seni ke fungsi vitalnya: sebagai pencipta realitas, bukan peniru.
Bagaimana kerangka Deleuze ini bekerja dalam praktik? Mari lihat dua karya: Francis Bacon dengan "Study for a Self-Portrait—Triptych" (1985-86) dan Muhlis Lugis dengan "Penoda Keadilan (2013)."
Keduanya melakukan deformasi secara sengaja. Bacon merusak figur wajahnya, Lugis mencukil dengan teknik tajam. Bukan untuk merepresentasikan realitas, melainkan menciptakan "diagram". Zona abstrak yang memetakan kekuatan-kekuatan tak terlihat, yang terperangkap di dalam materi.
Dari assemblage elemen heterogen, interaksi warna dan ruang pada Bacon, tekstur cukilan dan simbol terjalin pada Lugis, lahirlah afek. Semacam melahirkan energi non-manusia yang mengaktifkan sensasi langsung di sistem saraf penonton, melewati interpretasi intelektual.
Hasilnya? Blok sensasi yang otonom dan mandiri. Inilah pengalaman otentik yang melampaui segala pengetahuan sebelumnya tentang realitas.
Lalu bagaimana kita seharusnya mendekati seni? Bukan dengan bertanya "Apa artinya?", melainkan "Apa yang dilakukannya?"
Pergeseran ini mengalihkan fokus dari interpretasi subjektif ke pengalaman fisik langsung. Kita harus melatih diri merasakan karya melalui sistem saraf, bukan otak—mencari deformasi yang disengaja: distorsi figur, coretan acak, tekstur kasar. Ini adalah petunjuk menuju "diagram" yang membebaskan afek dan melepaskan "force" yang langsung beresonansi dengan tubuh kita.
Seni sebagai "mesin" penciptaan "blok sensasi"
Pendekatan ini menantang institusi seni (untuk tidak bilang, termasuk komunitas seniman) yang obsesif dengan narasi, riwayat, dan interpretasi konseptual yang memperlakukan karya sebagai objek statis yang butuh penjelasan. Implikasinya, penonton atau pengunjung pameran juga dilihat sebagai subjek pasif, sehingga seniman merasa perlu menegaskan maksudnya, makna karyanya, kepada mereka. Bahkan karena belum merasa cukup dengan itu, tak jarang seniman merasa perlu menolong pengunjung pameran dengan meletakkan teks-teks tertulis di atas kanvas, baik secara eksplisit maupun implisit, untuk mempertegas makna, pesan, atau maksud dari karyanya.
Dengan melihat seni sebagai "mesin" penciptaan "blok sensasi" yang otonom, kita menolak konsumsi pasif. Di sinilah, kita berpartisipasi dalam peristiwa transformatif yang melampaui interpretasi dan pengetahuan yang sudah ada.
Pada intinya, tawaran Deleuze-Guattari adalah colekan untuk mengalami seni secara intensif dan langsung melalui diagram, afek, blok sensasi. Konsep-konsep ini menunjukkan bahwa seni memiliki kapasitas menciptakan pengalaman yang tak tereduksi menjadi makna. Seniman tak lagi didorong oleh emosi dan perasaan pribadi dalam menjalankan proses kreatifnya, tetapi bekerja sebagai "mesin hasrat", yang oleh afek menyediakan (force) kekuatan untuk "menjadi". Akhirnya, seniman adalah medium yang menyalurkan kekuatan yang lebih besar. Ia tidak lagi berperan sebagai khatib yang menyediakan objek-objek representasi, tetapi justru membebaskan seni dari belenggu interpretasi. Seni yang sesungguhnya bekerja pada level fundamental: mengubah cara kita merasakan dan mempersepsi dunia.
Di tengah kompleksitas seni rupa kontemporer, perspektif ini membebaskan kita dari tirani interpretasi, sekaligus mengajak kita "rehat" menjadi seniman “pendakwa”, yang sesungguhnya sekadar memungut pemaknaan representasional yang sekian lama ready to use. Pendekatan Deleuzian mengajak kita percaya pada respons tubuh dan sensibilitas diri sendiri—membiarkan seni mengerjakan sesuatu dalam diri kita tanpa perlu pemahaman konseptual.
Ceritanya begitu, konsep ini ingin mengembalikan seni pada fungsi dasarnya sebagai kekuatan yang mentransformasi pengalaman hidup kita.
Berru, 15/09/2025
Comments (0)
There are no comments yet