Revival Makassar Biennale 2025: Awakening Art as Disensus

Redaksi - Seni-Budaya
27 September 2025 23:41
Sosok manusia terdistorsi yang terperangkap dalam "kandang" transparan menjadi pusat komposisi, di tengah lautan gejolak dan diagram koneksi, diapit oleh cetakan tangan purba dan perahu pinisi yang melayang.

Irfan Palippui (Direktur Makassar Biennale)

Seperti lukisan gua Leang-leang yang tersembunyi selama ribuan tahun sebelum ditemukan kembali, Makassar Biennale (MB) kini menantang dirinya untuk menemukan ulang visi artistiknya. Melalui tema "Revival", MB berupaya bangkit (awakening) dari reruntuhan ekspektasi masa lalu, di mana seni tidak lagi sekadar dipamerkan, melainkan dirasakan sebagai pengalaman yang hidup. Paling tidak, begitulah idenya.

Tanggal 28 Agustus 2025 menandai kembalinya Makassar Biennale di bawah pengelolaan Yayasan Makassar Biennale. Momentum ini sekaligus mengakhiri polemik yang telah menegaskan dua persoalan mendasar dalam pelaksanaan event seni rupa dua tahunan ini: aspek etik dan artistik.

Dari sisi etika penyelenggaraan, sorotan tajam tertuju pada praktik pengelolaan sejak 2017 yang dinilai tidak mengakomodasi partisipasi seniman rupa dengan baik, khususnya di Kota Makassar. Persoalan keterbukaan penyelenggaraan, koordinasi komunikasi, dan transparansi penggunaan anggaran menjadi kritik utama dari forum perupa terhadap pelaksana yang diberi kepercayaan mengelola event ini.

Sementara itu, dari aspek artistik, pertanyaan mendasar muncul terhadap visi kuratorial yang dianggap menyimpang dari standar biennale seni rupa pada umumnya. Keraguan terhadap kompetensi kurator dalam meletakkan tema utama dan menurunkan subtema secara konsisten menjadi sorotan publik. Lebih mengkhawatirkan lagi, terjadi pemisahan yang tidak integral antara penelitian dan praktik artistik, di mana fokus utama justru bukan lagi pada perupa sebagai partisipan utama Makassar Biennale.

Kondisi ini tentu menjadi tantangan besar bagi pelaksana Biennale tahun 2025 yang mengambil tema "Revival". Pertanyaan mendasar pun muncul: apa yang hendak dibangunkan atau dibangkitkan kembali? Ini menjadi tantangan yang harus dijawab oleh Tim Makassar Biennale yang baru, terlebih dengan waktu transisi pengambilalihan MB oleh Yayasan Makassar Biennale (YMB) yang sangat terbatas.

Menghadapi keterbatasan ini, Tim Makassar Biennale (MB) sepakat untuk mengambil sikap tegas: "Ayo kita lakukan dengan segala konsekuensinya." Pilihan ini mencerminkan semangat yang sama seperti saat MB pertama kali diselenggarakan pada tahun 2015. Namun, meskipun tetap menjunjung tinggi keterbukaan, tawaran artistik yang berfokus pada seni sebagai pengetahuan yang dapat dirasakan perlu didalami lebih dalam sebelum cerita MB 2025 dimulai.

Berdasarkan kesepakatan setelah pengambilalihan kegiatan, Revival ditetapkan sebagai tema utama. Revival dimaknai sebagai kebangkitan atau awakening dari segala aspek yang selama ini tidak terlihat, tidak didengarkan, terpinggirkan dan tidak menjadi bagian dari suatu bagian  . 

Dalam konteks ini, saya menyepakati ide seni mural sebagai pilihan bentuk produksi artistiknya. Namun, seperti yang sering saya tekankan, modus produksi artistik bisa saja terjebak dalam pola perayaan seni semata jika tidak didasari oleh prinsip-prinsip praktik yang kuat. Oleh karena itu, Makassar Biennale harus menetapkan modus praktik artistik yang jelas agar produksi mural yang kita bayangkan dapat benar-benar mengokupasi ruang publik kota Makassar, bukan sekadar ornamen yang mengatasnamakan estetika belaka.

Selanjutnya, upaya Tim MB (Revival) untuk menjadikan temuan lukisan purba di karst Maros-Pangkep sebagai titik tolak tentu saja relevan dengan tema-tema Makassar Biennale sejak awal, baik Trajectory maupun Maritim. Kedua tema ini memiliki irisan yang kuat: Trajectory (2015) mengajak kita untuk menyusun lintasan atau linimasa seni rupa, sementara Maritim (sejak 2017) berfungsi sebagai metafora untuk menghubungkan berbagai lintasan peristiwa dari masa lalu ke masa kini.

Baca juga:
Kabar Tak Sedap! Cari Informasi di Google Bakal Berbayar

Memilih arsip lukisan di gua-gua karst Maros-Pangkep sebagai titik berangkat modus praktik artistik menjadi pendekatan yang strategis karena beberapa alasan mendasar.

Pertama, Revival sebagai tema perlu ditempatkan bukan sekadar sebagai wacana identitas regional, melainkan sebagai topik afinitas yang membangun jaringan keterhubungan. Lukisan-lukisan ini dapat dimaknai sebagai metafora untuk merekonstruksi kembali jejaring global Makassar. Dengan demikian, maritim sebagai afinitas tidak lagi hanya tentang laut dan navigasi, melainkan tentang kehidupan itu sendiri.

Melalui arsip lukisan Leang-leang, praktik artistik Makassar Biennale dapat menafsirkan ulang tema ini sebagai simbol atau strategi perjuangan melawan eksploitasi dan ketidaksetaraan dalam ekonomi maritim global. Revival ini juga dapat mengundang seniman, nelayan, peneliti, dan aktivis lingkungan dari berbagai penjuru dunia yang memiliki afinitas dengan isu-isu laut.

Kedua, Revival mendorong Makassar Biennale (MB) untuk menjadi peristiwa politik yang menginterupsi distribusi sensibilitas. Dengan kata lain, MB tidak lagi memandang seni sebagai sekadar produksi artistik, melainkan alat untuk membuat isu-isu ketidaksetaraan dan ketidakadilan—yang sering kali tidak terlihat atau diabaikan—menjadi nyata dan mendesak.

Sebagai contoh, mural yang mereplikasi lukisan gua, seperti gambar tapak tangan yang melambangkan kepemilikan, dapat digunakan untuk memprotes penguasaan ruang publik oleh kekuatan ekonomi atau politik. Hal ini membuka jalan bagi partisipasi publik dan memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan, menjadikan mereka bagian tak terpisahkan dari praktik artistik tersebut. Dengan demikian, Makassar Biennale melalui Revival dapat menjadi wadah untuk menantang struktur kekuasaan yang tidak setara, baik di tingkat nasional maupun global.

Ketiga, melalui Revival, para seniman yang terlibat dalam Makassar Biennale (MB) memahami visi dan metode praktik artistik yang ditawarkan. Penekanannya terletak pada kemampuan seniman untuk menciptakan "data" emosional—sebuah rekaman dampak ketidakadilan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dialami warga. Selain itu, mereka juga mengaktifkan ruang diskursus, menjadikannya "laboratorium terbuka" tempat seniman, kurator, dan publik dapat bereksperimen dengan metode baru untuk memahami dan merespons ketidakadilan.

Praktik artistik yang partisipatif sangat ditekankan karena pengetahuan yang dihasilkan bukanlah sekadar data statistik, melainkan pengalaman yang mendalam dan emosional. Tujuannya adalah agar seni sebagai pengetahuan dapat dirasakan langsung oleh mereka yang bersuara atau yang selama ini terabaikan dan tidak menjadi bagian dari dunia yang mereka tinggali.

Makassar Biennale 2025 dengan tema "Revival" diharapkan menjadi tawaran paradigma baru dalam praktik seni rupa kontemporer Indonesia. Melalui pendekatan yang memadukan arsip lukisan purba Leang-leang dengan isu-isu kontemporer, MB 2025 tidak sekadar menjadi ajang pameran seni, melainkan bertransformasi menjadi laboratorium sosial yang hidup.

Keberanian Yayasan Makassar Biennale untuk mengambil alih pengelolaan di tengah waktu terbatas mencerminkan komitmen untuk memulihkan integritas artistik dan etika penyelenggaraan yang sempat bermasalah. Revival dalam konteks ini bukan hanya tentang menghidupkan kembali tradisi seni, tetapi juga tentang membangkitkan kesadaran kolektif terhadap ketidakadilan yang kerap tersembunyi.

Dengan menjadikan mural sebagai medium utama dan ruang publik sebagai panggung, MB 2025 berpotensi menciptakan dampak yang berkelanjutan—di mana seni tidak lagi terjebak dalam lingkaran elitis, melainkan menjadi katalis perubahan sosial yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat Makassar dan dunia. Inilah revival: kebangkitan seni sebagai kekuatan transformatif yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu narasi perlawanan terhadap ketidaksetaraan.


Berru, 07/09/2025

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment