Marege: Ketika Orang Biasa Menulis Sejarah

Redaksi - Seni-Budaya
22 September 2025 03:09
Delapan sosok berdiri di tepi pantai menghadap hamparan laut yang tak berujung.

Irfan Palippui (Dosen, Peneliti Seni-Budaya, Direktur Makassar Biennale)

Apa jadinya jika sejarah ditulis ulang oleh orang biasa, bukan oleh penguasa?

Jauh sebelum Inggris tiba, orang-orang Bugis, Mandar, dan Makassar telah menjalin hubungan lintas benua dengan penduduk asli Australia. Kisah-kisah mereka tidak tercatat di istana, melainkan terukir dalam nyanyian dan ingatan turun-temurun. Di sini, sejarah bukan milik raja-raja, tapi milik mereka yang berani menyeberangi lautan.

Film "Marege Awating Macassan" bukan sekadar dokumenter sejarah. Film ini membawa kita masuk dalam sejarah itu sendiri, merasakan deburan ombak yang sama dengan para pelaut masa lalu, menghirup aroma teripang yang mengering di pantai, dan ikut mengalami rindu yang tumbuh di hati ketika mereka berpisah dengan keluarga baru di tanah seberang. Di sini, kita tidak hanya menyaksikan perdagangan, tapi ikut merayakan bagaimana cinta dan persahabatan tumbuh di antara dua budaya yang berbeda bahasa namun sama-sama memahami arti kehilangan, kerinduan, dan harapan untuk bertemu lagi. 

Wildan Noumeru (sutradara) menawarkan ajakan sederhana namun menggugah: berhenti meromantisasi sejarah dari menara gading. Saatnya mendengar cerita dari mereka yang tangannya bersentuhan langsung dengan ombak, garam, dan harapan.

Inilah yang membuat film begitu powerful. Film, sebagaimana medium seni lainnya yang memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita melihat dunia. Sepanjang sejarah, film dan seni tidak hanya menjadi produk budaya, tetapi juga alat perlawanan terhadap ideologi yang berkuasa.

Tulisan ini tidak akan membahas bagaimana film digunakan sebagai senjata propaganda sebagaimana itu terjadi pada pasca Perang Dunia Kedua atau selama Perang Dingin. Kita juga tidak akan mengupas bagaimana seni dijadikan instrumen kekerasan budaya untuk memperkuat ideologi dominan di negara-negara tertentu.

Sebaliknya, kita akan melihat bagaimana Film "Marege Awaiting Macassan" menyediakan pemaknaan ketiga (obtuse meaning) serta time-image yang bisa dipakai sebagai "politik masa depan" dari sejarah warga biasa.

Untuk mewujudkan visi tersebut, Noumeru memilih pendekatan yang ia sebut sebagai dokudrama—sinema dokumentasi. Pilihan gaya presentasi visual yang mengolaborasikan data riset dengan seni peran, ditambah sentuhan imajinasi dan fiksi, bukanlah kebetulan. Noumeru memang memiliki akar kuat di sastra dan teater. Sebagai alumni Sastra Indonesia, ia sudah menempa diri melalui berbagai eksperimen kreatif sejak bergabung di Bengkel Sastra UNM, melahirkan banyak karya yang kemudian membentuk sensibilitas artistiknya.

Latar belakang itulah menjadi menonjol dalam film dokudrama “Marege Awaiting Macassan” ini. Di mana hal-hal simbolik dan data sejarah sebagai pengantar makna terlebih dahulu “diretas”, agar memiliki potensi untuk bisa “melampaui” narasi sejarah dominan. Olehnya itu, ketika orang bertanya mengenai data-fakta serta representasi simbolik dalam film ini, tampak memang sengaja diblur di awal agar konsennya pada pengalaman filmis sebagai makna ketiga atau obtuse meaning dapat dialami. Tumpul. Tak jarang dapat diatasi oleh bahasa. Hanya dirasakan, tapi tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. 

Pengalaman filmis sebagai obtuse meaning tidak lagi berada pada tingkat pemaknaan data atau keterwakilan suatu penanda. Ia melampaui makna-makna yang sudah dipahami bersama. Sebagai makna ketiga, ia menjadi pengalaman immersive di mana yang personal (penonton) secara afektif tercelup ke dalam sesuatu yang tak terduga.

Seperti detail yang menyengat dalam setiap adegan: bintil-bintil pada kulit teripang di bawah sorot kamera, detail tak terduga yang membuat kita merasakan tekstur kasar seolah menyentuh kulit kita sendiri. Kepala botak aktor yang berkilat terpapar matahari saat menjemur teripang—detail sederhana yang tiba-tiba menghidupkan seluruh adegan dengan keringat dan kelelahan yang nyata.

Kemudian ada deburan ombak yang terkoyak lambung perahu padewakang, bunyi yang menusuk pendengaran dan membawa kita langsung ke tengah lautan yang bergolak. Hingga nyanyian bersama mengelilingi unggunan api sebagai perpustakaan ingatan, suara-suara yang melayang dalam kegelapan, menyentuh memori kolektif yang tak terjangkau akal.

Baca juga:
Tak Masuk Skema Pelatih, Persik Kediri Lepas Gunawan Dwi Cahyo

Pengalaman merasakan detail-detail tak terduga itu disebut Barthes sebagai "Punctum"—semacam sengatan, luka, detail yang membuat gambar yang dilihat menjadi hidup. Itulah pengalaman filmis yang membangkitkan sensasi, sehingga membuat sejarah "orang biasa" terasa nyata dan relevan. Noumeru mengubahnya dari data kering menjadi pengalaman yang hidup.

Selain menyentuh emosi, pengalaman filmis yang membangkitkan obtuse meaning dan punctum ini juga menjadi dasar atas apa yang disebut Barthes sebagai "politik masa depan", sebuah bentuk perlawanan terhadap narasi dominan.

Film ini menghadirkan sejarah yang dibangun oleh orang-orang biasa. Sejarah yang berserak, berada di mana-mana di level arus bawah, merobohkan ketunggalan narasi sejarah utama. Khususnya pandangan kolonial yang menganggap bahwa penduduk setempat itu pasif, terisolasi sejak dahulu kala. Parahnya lagi, pandangan kolonial yang  menyeragamkan perspektif partikularitas budaya dalam sebutan aborigin—penamaan yang memiliki jejak traumatis atas orang-orang setempat, termasuk Yolngu di pesisir utara Australia.

Film ini tegas menolak menara gading sejarah dengan menunjukkan kenyataan yang lebih jujur: hubungan yang dibangun oleh pelaut yang terbiasa dengan garangnya lautan, perihnya kehidupan, dan dahsyatnya menghadapi gelombang Samudra Hindia dan Pasifik.

Lebih dari sekadar menumbangkan narasi kolonial, film ini juga secara cerdas menggunakan gestur-gestur keseharian sebagai arsip sejarah yang hidup, menangkap apa arti rindu menjadi manusia, dan melestarikan ingatan yang tak terucap melalui konsep time-image milik Gilles Deleuze.

Lihatlah dari close-up wajah istri Daeng Rangka—mata yang menatap langsung ke kamera dengan ekspresi yang sulit ditafsirkan, motif putih tradisional menghiasi wajahnya sebagai penanda identitas budaya, latar  hijau yang kabur menciptakan fokus dan totalitas  ekspresinya. Tatapan mata yang dalam namun tenang itu menjadi cermin dari para perempuan yang ditinggal melaut sepanjang sejarah, melampaui batas ruang dan waktu. Begitu pula dengan ekspresi masyarakat Yolngu yang berkata "still waiting!", dua kata sederhana yang merangkum berabad-abad kerinduan. Begitu kuat, intens, dan dalam. Rasanya menarik kita masuk pada dua waktu sekaligus: masa lalu dan saat ini. 

Dan bukan hanya itu, time-image tidak semata melalui ekspresi wajah. Noumeru juga menciptakan kekuatan visual yang sama dalam frame yang tampaknya sederhana: Delapan sosok berdiri di tepi pantai menghadap hamparan laut yang tak berujung.

Postur tubuh mereka yang hening, tatapan yang tertuju pada laut lepas, dan kesunyian yang melingkupi adegan ini meringkas seluruh sejarah penantian. Di satu frame, kita melihat sekaligus masa lalu para pelaut Macassan yang berlayar meninggalkan tanah air, masa kini yang masih merasakan kerinduan itu, dan masa depan yang akan terus menyimpan memori tersebut.

Gestur-gestur ini bukan hanya akting, tetapi perwujudan dari time-image yang memadatkan waktu—masa lalu, kini, dan masa depan—dalam satu frame emosional yang menggigit. 

Mungkin inilah yang sebenarnya kita rindukan dari sejarah: bukan deretan tahun dan nama-nama penguasa, melainkan detak jantung manusia biasa yang berani menyeberangi lautan demi bertemu dengan sesama. Film "Marege Awaiting Macassan" mengingatkan kita bahwa sejarah sesungguhnya hidup dalam setiap tatapan mata yang masih menanti, dalam setiap debur ombak yang masih menyimpan kenangan, dan dalam setiap nyanyian yang terus bergema di tepi pantai.

Ketika layar telah menjadi gelap dan kita melangkah keluar dari ruang pemutaran film ini, pertanyaan yang tersisa bukan lagi  tentang kapan para pelaut Macassan akan kembali—melainkan kapan kita akan mulai mendengarkan kisah-kisah yang selama ini tenggelam dalam bisikan angin laut. Sebab di ujung setiap penantian, selalu ada cerita yang menunggu untuk diceritakan kembali.

Noumeru menunjukkan salah satu cara ungkapnya melalui karya filmnya ini. Sejarah bukanlah milik elit semata, tetapi selalu hidup dalam ingatan yang terus berdetak di dada mereka yang masih bernapas.

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment