Senirupa Makassar di Bawah Bayang-Bayang Biennale yang Melenceng

Makassar - Perhelatan Makassar Biennale, yang sedianya menjadi barometer perkembangan seni rupa di Kota Daeng, kini berada di titik nadir. Ali-alih menjadi etalase gagasan artistik dan karya-karya orisinal perupa lokal, agenda dua tahunan ini justru dituding telah melenceng jauh dari khitahnya. Sebuah diskusi publik yang terangkum dalam notulensi dialog para seniman Makassar menyajikan rentetan kritik pedas yang secara sistematis membongkar dekadensi estetika dan etika Biennale di bawah kendali Jimpe. Kritik ini bukanlah sekadar ‘curhat’ seniman yang merasa terpinggirkan, melainkan sebuah analisis mendalam yang mengkhawatirkan masa depan seni rupa di kota ini.
Keresahan utama muncul dari pembalikan esensi Biennale itu sendiri. Firman Jamil, seorang perupa senior, dengan tegas menyatakan bahwa Makassar Biennale yang diawali sejak 2015 untuk memajukan senirupa Makassar, kini "berbelok arah". Pergeseran ini, menurutnya, telah mengubah Biennale menjadi ajang pengkaderan dan penelitian oleh sebuah lembaga bernama Tanahindie. Kritik ini diperkuat oleh Fadly, yang mengatakan bahwa porsi seni rupa dalam Biennale "mungkin cuma 10%". Pameran yang seharusnya menjadi panggung utama karya-karya visual, justru dipenuhi dengan kegiatan lain, seperti musik, yang tidak relevan dengan seni rupa. Firman Jamil menegaskan bahwa materi seni rupa dalam acara tersebut terkesan hanya sebagai pelengkap, tidak digarap secara serius, padahal Biennale ini awalnya didedikasikan untuk fokus pada seni rupa Makassar.
Kejanggalan estetis ini memuncak pada persoalan kuratorial dan kualitas karya. Dalam sebuah perhelatan seni sekelas biennale, kurator memiliki peran krusial sebagai penjaga integritas artistik dan intelektual. Namun, hal ini menjadi pertanyaan besar saat Jimpe menunjuk istrinya sendiri sebagai kurator pada tahun 2021 dan 2023. Firman Jamil menilai kompetensi kurator tersebut diragukan di bidang seni rupa, bahkan menyebutnya sebagai "celaka". Penunjukan ini menimbulkan kecurigaan bahwa proses kuratorial bukan lagi tentang pertimbangan profesional, melainkan didasarkan pada hubungan personal yang bias.
Dampaknya terasa langsung pada kualitas pameran. Faisal Syarif, dalam diskusinya, membongkar kesaksian Rizki, seorang peserta dari Malaysia yang diundang sebagai penulis. Rizki menyatakan bahwa di Makassar Biennale 2023, hampir seluruh karya masih dalam proses dan belum selesai. Kesaksian ini menjadi bukti kuat bahwa seni rupa dalam biennale tersebut hanya bersifat formalitas belaka, dan proses kreatifnya tidak berjalan secara profesional. Seniman tidak diperkenalkan, gagasan kesenian tidak dipublikasikan, bahkan yang dipublikasikan justru panitia dan anggota-anggotanya. Jendry, seorang perupa yang membuat karya besar (di gedung kesenian), yang harusnya menyaksikan karyanya dengan pencahayaan yang layak, justru terparkir mobil di depannya. Ini menunjukkan minimnya apresiasi artistik dan penyelenggaraan yang tidak profesional.
Lebih dari sekadar persoalan estetika, para seniman juga menyoroti adanya manipulasi kelembagaan dan etika yang fatal. Irwan AR menyebut tindakan Jimpe sebagai "manuver politik" yang cerdik, bukan lagi dinamika kesenian. Jimpe, menurutnya, sengaja "meng-hack" Makassar Biennale untuk keuntungan pribadi, seperti yang ia akui sendiri. Hal ini terbukti dari peristiwa pahit yang dialami Firman Jamil terkait undangan ke Bulgaria. Jimpe, yang awalnya berjanji membantu mencarikan dana dari program Indonesiana, justru memanipulasi proposal dan bahkan menahan visa yang sudah keluar, menyebabkan Firman Jamil batal berangkat. Kisah ini, menurut Firman, adalah contoh nyata bagaimana nama baik dan jaringan profesionalnya digunakan untuk melegitimasi agenda pribadi Jimpe.
Puncaknya, Irwan AR mengungkapkan bahwa Jimpe menggunakan nama lembaga Tanahindie untuk mengajukan dana publik dari program Indonesiana, tanpa menggunakan nama Yayasan Makassar Biennale yang seharusnya. Ini adalah manipulasi yang nyata dan merupakan pelanggaran hukum. Praktik ini, menurut Irwan AR, menunjukkan bahwa Jimpe adalah "konsultan politik" yang lebih canggih daripada LSM mana pun, yang ahli dalam melakukan framing.
Baca juga:
Tahun Depan, Jalan Nasional Penghubung Sultra dan Sulsel Bakal Rampung
Dekadensi ini juga meluas ke ranah sosial dan komunitas. Irwan AR menyebutkan bahwa Jimpe sengaja merekrut generasi milenial dan Gen Z dengan narasi egaliter dan lintas media, menawarkan imbalan seperti kaus dan tumbler alih-alih honor. Strategi ini menciptakan lapisan baru yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang seni rupa, sembari mengesampingkan seniman-seniman senior yang seharusnya menjadi tulang punggung biennale.
Keseluruhan kritik ini menegaskan bahwa Makassar Biennale telah kehilangan roh dan identitasnya. Dari sebuah forum seni rupa yang didedikasikan untuk mengukur perkembangan kota melalui gagasan artistik, ia telah direduksi menjadi alat untuk kepentingan pribadi dan bisnis penerbitan. Para perupa Makassar tidak ingin Biennale mati, namun mereka menuntut agar perhelatan ini kembali ke jalurnya.
Sebagai respons, para seniman menyerukan perlawanan yang sama-sama politis. Langkah konkret yang disepakati adalah mengambil kembali Yayasan Makassar Biennale dan menyelenggarakan sebuah perhelatan seni rupa sebagai "pernyataan sikap politis". Aksi ini bertujuan untuk membuktikan bahwa biennale yang dikelola Jimpe tidak sah, serta mengembalikan marwah senirupa Makassar yang telah "dibegal dan dihancurkan". Mereka juga merekomendasikan agar masalah ini dibawa ke jalur hukum.
Akhirnya, kritik ini bukan hanya tentang satu individu, melainkan tentang panggilan untuk menjaga integritas kelembagaan seni, etika profesional, dan esensi estetika di tengah arus yang mereduksi seni menjadi sekadar proyek pengkaderan atau alat pencarian dana. Para perupa Makassar kini bersatu dalam tekad untuk merebut kembali forum mereka, memastikan bahwa warisan seni rupa Makassar tetap hidup dan berkembang di tangan yang benar.
Comments (0)
There are no comments yet